Kosong adalah Isi

Malam itu, di sebuah kedai kopi di pinggiran kota Jakarta. Hanya ada 4 meja kecil dengan permukaan persegi, masing-masing cukup untuk dua orang, ditandai dengan dua buah kursi kayu yang berhadapan di dua sisi setiap mejanya. Meja pertama, kedua, ketiga telah ditempati, masing-masing oleh 2 orang. Aku duduk di meja ke-4.

Malam itu aku datang sendiri, jadi masih ada satu kursi kosong, satu meja denganku. Aku duduk di meja paling ujung, di kursi paling ujung, paling jauh dari pintu, di bawah jam tua, dan aku bisa lihat semua pelanggan lainnya.

Dua perempuan di meja pertama, dekat pintu, sedang asyik bercakap dan tertawa sambil bergantian menunjukkan sesuatu di layar ponsel pintarnyanya, kelihatannya amat menyenangkan. Di mejanya, dua cangkir transparan berisi kopi diam tak tersentuh, piring oval tergeletak, kotor oleh remah-remah roti, memantulkan cahaya lampu ruangan

Dua pria di meja kedua tampak berembug serius. Dari mulut mereka, terucap beberapa nama kafe terkenal di kota itu; nama-nama daerah seperti Aceh, Temanggung, dan Flores; satuan berat serta nominal sejumlah uang.

Aku tak menangkap dengan jelas percakapan mereka, suara mereka tertutup oleh perdebatan antara laki-laki dan perempuan yang duduk di meja ketiga, meja sebelahku. Suaranya hampir memenuhi seluruh ruangan sempit itu.

Malam itu benar-benar tidak nyaman, mereka terus saja berdebat tentang hal-hal sepele yang sebenarnya tak perlu diperdebatkan. Hingga pesananku datang, mereka terus saja bersilat lidah. Untung, setelah kurang lebih setengah jam, dan akhirnya mereka diam juga, saling diam, lalu sibuk bermain dengan ponsel pintar mereka masing-masing.

Waktu semakin larut, tiba-tiba lonceng kecil berdenting, tanda ada seseorang membuka pintu kedai. Dari balik pintu, seorang perempuan berbaju ketat. Langkahnya terhenti ketika melihat keempat meja telah ditempati, meski sebenarnya masih ada satu kursi kosong, satu meja denganku. Ia menyapu pandangannya seisi ruangan dan ketujuh pelanggan saat itu. Pandangannya sempat terhenti padaku, tetapi dia memilih untuk tidak jadi mengunjungi kedai.

Kejadian serupa terulang hingga 5 kali, dan semuanya tidak jadi mengunjungi kedai. Aku bisa memaklumi pilihan mereka, ruangannya terlalu sempit dan mejanya sudah penuh, meski sebenarnya masih ada satu kursi kosong, satu meja denganku. Terlebih, orang sekarang memang enggan semeja dengan orang tidak dikenal di tempat umum.

Hingga hari berganti, 7 orang pelanggan, termasuk aku, tetap bertahan.

Tidak terasa, petang itu aku telah menenggak habis dua cangkir kopi robusta. Ketika aku hendak pergi, denting lonceng kecil kembali terdengar untuk kesekian kalinya. Kali ini seorang pria berjaket kulit, matanya merah, rambutnya tak tertata rapi, berjalan sempoyongan ke meja kasir, memesan sesuatu, lalu menuju ke meja aku duduk. Tanpa basa-basi, belum sempat kupersilakan ia duduk, pria itu sudah duduk di kursi di depanku, semeja denganku, kami berhadapan.

Ucapan selamat malam ia yang mulai, dan kujawab sama, meski sebenarnya saat itu sudah dini hari. Mulutnya bau alkohol.

Walau begitu, dia bisa berbicara dengan jelas dan tertata. Lalu, pesanananya, segelas air putih tiba.

Aku urungkan niat untuk pulang, kami pun bercakap, terus hingga langit mulai terang kembali.

4 thoughts on “Kosong adalah Isi

Leave a comment